Kompas/Aswin Rizal Harahap
Seorang nelayan Mandar mencari ikan dengan latar belakang deretan perahu sandeq di perkampungan nelayan Mandar di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Senin (13/2).
Peluh membasahi sekujur tubuh Abdullah (39) saat tengah mengutak-atik perahu sandeq miliknya di perkampungan nelayan Pambusuang. Ia sibuk memasang mesin di bagian lambung perahu bercadik khas Mandar itu. Layar perlahan digulung. Inilah era motorisasi armada laut suku Mandar. Peranti tradisional berdaptasi dengan arus modernisasi.
Abdullah membeli mesin bertenaga 20 PK seharga Rp 4 juta setelah menyisihkan pendapatan dalam enam bulan terakhir. Ia berharap tambahan komponen mesin mampu mengoptimalkan hasil tangkap seperti yang lebih dulu dilakukan ratusan nelayan Mandar di Desa Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.
Di perkampungan 587 nelayan Mandar itu kini jarang ditemukan perahu sandeq sebagai armada tangkap ikan. Kalaupun ada, perahu yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan angin itu umumnya telah dipasangi mesin. Deretan sandeq yang 10 tahun silam memadati tepi pantai Pambusuang berganti dengan ratusan perahu bermesin yang mereka sebut pagae dan kappal.
Nelayan mengganti sandeq dengan pagae atau kappal seharga Rp 100 juta lebih. Kappal berkekuatan mesin 50 PK dengan daya tampung 4-5 ton. Adapun pagae dua kali lipat lebih besar.
Saat masih menggunakan perahu berlayar, Abdullah hanya mampu melaut di kawasan Selat Makassar, perairan yang bersentuhan langsung dengan wilayah Mandar. Dengan kondisi cuaca yang tidak menentu, daya jelajah sandeq rata-rata hanya 6 mil laut (sekitar 11 kilometer) dari pantai. Perahu layar sulit menyentuh perairan di Kalimantan Timur dan Laut Sulawesi yang menjadi habitat ikan tuna.
”Kalau memakai perahu layar, butuh waktu 1-2 minggu untuk mencapai kedua wilayah itu (Kaltim dan Laut Sulawesi). Kondisi ikan tuna pasti tak segar lagi saat kembali ke daratan,” ungkap Abdullah.
Hasil tangkapan pun hanya 3-5 ikan tuna per hari dengan bobot 100-150 kilogram, jauh dari kapasitas perahu sebesar 1 ton.
Demi efisiensi, nelayan lainnya, Awaluddin (45), juga melengkapi sandeq dengan mesin 10 tahun silam. Ia bahkan memodifikasi perahu dengan menambah ruang penyimpanan es batu. Hasil tangkapannya kini melonjak hingga 20 ekor tuna berbobot total 600 kg per hari.
Dengan motorisasi, Awaluddin leluasa untuk memperluas daya jelajah melaut. Waktu tempuh menuju perairan Kaltim dan Laut Sulawesi hanya dua hari pergi-pulang.
Fenomena peralihan dari perahu sandeq ke perahu mesin juga terjadi di Desa Tangnga- Tangnga, Kecamatan Tinambung, perkampungan nelayan Mandar yang berlokasi tak jauh dari Pambusuang. Baco Pua’lina (51), nelayan setempat, telah menggunakan pagae sejak lima tahun lalu. Selain efisien menangkap tuna, perahu yang dilengkapi alat tangkap pukat cincin itu juga pas untuk menjaring telur ikan maraqdia/tomanurung (ikan terbang).
Menurut Baco, telur ikan terbang kini semakin sulit ditemukan di Selat Makassar. Nelayan Mandar umumnya harus melaut hingga perairan di Manokwari dan Raja Ampat, Papua Barat, untuk mendapatkan komoditas ekspor tersebut. Dengan jarak tempuh yang mencapai ratusan mil, pagae jauh lebih mumpuni ketimbang sandeq.
Kepala Desa Tangnga-Tangnga M Arsyad mengemukakan, peralihan dari perahu layar ke perahu bermotor di daerahnya telah terjadi sejak tahun 2000. Dari 510 nelayan di Desa Tangnga-Tangnga, hanya 60 nelayan yang masih menggunakan sandeq. Itu pun sandeq yang telah dipasangi mesin.
Fenomena di kampung nelayan Mandar, Pambusuang, lebih ekstrem. Menurut Kepala Desa Pambusuang M Ridwan, jumlah sandeq tinggal 30 unit dari 769 kapal bermotor yang dipakai sekitar 900 nelayan.
Sebagai komoditas ekspor, ikan tuna dipersyaratkan segar. Nelayan pun wajib memperhatikan cara tangkap supaya kondisi ikan tuna tetap terjaga. Sebelum menggunakan pagae dan kappal yang dilengkapi alat tangkap pukat cincin dan jaring, nelayan Mandar membunuh ikan tuna dengan memukulkannya ke lantai perahu sandeq.
Metode itu rentan merusak daging ikan sehingga harganya jatuh di pasaran. Baco mengenang, ketika masih menggunakan sandeq, paling banyak ia memperoleh 5 ekor ikan tuna dengan bobot total 150 kg per minggu. Lebih sering ayah tiga orang putra itu hanya mendapat 2-3 ekor ikan tuna seminggu.
Kala itu, hasil tangkapannya dihargai Rp 15.000-Rp 18.000 per kg, jauh lebih rendah dari harga di pasaran ekspor yang mencapai Rp 27.000-Rp 30.000 per kg. Semangat untuk meningkatkan taraf hidup itulah yang mendorong nelayan Mandar beralih ke perahu bermotor.
Kompas/Aswin Rizal Harahap
Samadung (51) dibantu anaknya Taslim (19) tengah membuat perahu sandeq yang akan digunakan dalam festival Sandeq Race di perkampungan nelayan Mandar di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Nelayan Mandar kini memanfaatkan sandeq untuk balapan, bukan mencari ikan seperti yang dilakukan leluhur mereka dahulu.
Jennis (55), pembuat perahu di Pambusuang, mengaku tak pernah lagi membuat sandeq sejak 8 tahun lalu. Lelaki yang sudah tiga dekade menjadi pembuat perahu itu kini beralih membuat kappal. Dalam setahun, Jennis biasanya mendapat dua kali pesanan kapal seharga Rp 100 juta yang dibikin dalam waktu empat bulan.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulbar, jumlah kapal bermotor di Kabupaten Majene dan Polman - sentra nelayan Mandar - tahun 2011 sebanyak 3.664 unit. Jumlah itu bertambah 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebaliknya, jumlah perahu tak bermesin di kedua daerah itu yang sempat lebih dari 1.000 unit pada tahun 2008, kini tinggal 638 unit.
Selain karena faktor ekonomi, peralihan armada laut dari layar ke mesin mencerminkan kemampuan adaptasi nelayan Mandar terhadap teknologi. Namun, perahu motor mereka mengadopsi anatomi sandeq.
Adaptasi budaya
Peneliti budaya Mandar, Muhammad Ridwan Alimuddin, menyebut perahu sandeq sebagai produk adaptasi budaya (lihat Orang Mandar Orang Laut terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, 2005).
Sebelum menggunakan sandeq pada tahun 1930-an, nelayan Mandar awalnya mengenal pakur. Pakur adalah perahu bercadik yang memiliki layar berbentuk segi empat. Pakur tak selincah dan secepat sandeq karena berfungsi untuk mengangkut hasil bumi, seperti kopra dan kakao.
Ketika hendak menangkap ikan tuna, nelayan Mandar pun beralih memakai sandeq yang berukuran lebih kecil dari pakur, yakni panjang 12 meter, lebar 110 sentimeter, dan tinggi 130 cm. Dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga membuat sandeq dapat melaju hingga 40 km per jam. Kecepatannya bahkan melampaui laju perahu motor kecil, seperti katinting, lepa-lepa, dan bodi-bodi.
Dengan bodi yang lebih ramping ketimbang pakur, sandeq tangguh memburu kawanan ikan tuna. Kondisi itu didukung angin kencang di kawasan Teluk Mandar yang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang. Ketika kondisi cuaca makin sulit diprediksi akibat dampak pemanasan global, nelayan Mandar pun beralih menggunakan perahu bermotor.
”Transformasi bukanlah sesuatu yang tabu. Justru berkat kemampuan beradaptasi terhadap dinamika di lapangan membuat nelayan Mandar tetap eksis,” ungkap Ridwan. Lagipula, motorisasi peralatan melaut tak membuat nelayan Mandar begitu saja meninggalkan sandeq.
Mereka tetap menggunakan perahu sandeq dalam festival Sandeq Race yang rutin digelar setiap tahun sejak 1995. Jumlah peserta yang awalnya sekitar 20 perahu terus bertambah hingga mencapai 53 unit, tahun lalu. Mereka beradu kecepatan dalam lomba yang mengambil rute Mamuju (Sulbar) ke Makassar (Sulsel) sejauh 300 mil laut selama 10 hari.
Wakil Bupati Polman Nadjamuddin Ibrahim mengatakan, pihaknya mewajibkan setiap satuan kerja perangkat dinas (SKPD) untuk mendukung biaya operasional peserta lomba. Tiap dinas minimal mensponsori satu perahu dengan nilai bervariasi, Rp 10 juta-Rp 20 juta.
Nelayan Mandar memberi contoh bagaimana bersetia pada warisan leluhur tanpa alergi pada teknologi....
Sumber : Kompas.com
Sumber : Kompas.com