Kompas/Eddy Hasby
Bram Tako (kanan) dengan menggunakan kuda memantau peternakannya di padang sabana di Desa Karuni, Kecamatan Laura. Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Jumat (9/12/2011).
Kuda adalah simbol Sumba. Selain peran lazimnya, kuda terkait kepercayaan tua, Marapu. Di Sumba Timur, satu dari empat kabupaten di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, gambar kuda menjadi lambang kabupaten itu. Di luar itu, beternak kuda kini menjadi peluang usaha yang menjanjikan karena turunan kuda pacunya berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah!
Rata-rata masyarakatnya masih berkeyakinan kuat bahwa kuda adalah hewan tunggangan arwah menuju alam baka, atau ketika kembali secara mistis menemui lingkungan keluarganya yang masih di bumi. Itulah alasan kenapa ketika maramba atau bangsawan meninggal, kuda kesayangannya pasti dibunuh. Ada pula kuda yang pada saat yang sama mati sendiri tanpa dibunuh, semata-mata karena ikatan batin dengan tuannya.
Kuda memang hewan kaya peran. Seperti umumnya, binatang berkuku satu itu diandalkan sebagai hewan pemikul beban, transportasi, penarik delman, pacuan, atau atraksi seni ronggeng.
Di Sumba, selain bersentuhan dengan kepercayaan marapu, kuda juga masih memiliki peran khusus, seperti kebutuhan belis (maskawin) atau atraksi pasola, yakni atraksi saling menombak dengan lembing tumpul dari punggung kuda ketika sedang berlari kencang.
Selain setia menggelar atraksi pasola, Sumba sejak lama selalu rutin melaksanakan pacuan kuda. Jenis olahraga yang menguji kecepatan kuda serta ketangkasan joki biasanya menyedot perhatian luas masyarakat sekitarnya karena disertai taruhan bernilai hingga jutaan rupiah.
Sesuai jumlah kabupatennya, Sumba kini memiliki empat arena pacuan kuda, masing-masing di Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Pacuan tingkat Pulau Sumba biasanya tiga kali dalam setahun, antara Juni dan Oktober. Pelaksanaannya dilakukan bergilir di setiap kabupaten dengan hadiah merangsang.
Khusus di Sumba Barat, Bupati Jubilate Pandango, Juli lalu, malah mencanangkan pacuan kuda secara berjenjang. Kuda-kuda yang diikutsertakan dalam pacuan tingkat kabupaten adalah kelompok kuda unggulan tingkat kecamatan. Dengan demikian, kesempatan menggelar pacuan di setiap kecamatan amat terbuka.
Bupati Pandango bahkan mewajibkan segenap pemimpin satuan kerja pemerintah daerah memiliki kuda pacu. Bagi dia, dorongan dimaksud adalah bagian dari upaya merangsang masyarakat agar lebih giat beternak kuda, terutama jenis turunan kuda pacu.
Rata-rata masyarakatnya masih berkeyakinan kuat bahwa kuda adalah hewan tunggangan arwah menuju alam baka, atau ketika kembali secara mistis menemui lingkungan keluarganya yang masih di bumi. Itulah alasan kenapa ketika maramba atau bangsawan meninggal, kuda kesayangannya pasti dibunuh. Ada pula kuda yang pada saat yang sama mati sendiri tanpa dibunuh, semata-mata karena ikatan batin dengan tuannya.
Kuda memang hewan kaya peran. Seperti umumnya, binatang berkuku satu itu diandalkan sebagai hewan pemikul beban, transportasi, penarik delman, pacuan, atau atraksi seni ronggeng.
Di Sumba, selain bersentuhan dengan kepercayaan marapu, kuda juga masih memiliki peran khusus, seperti kebutuhan belis (maskawin) atau atraksi pasola, yakni atraksi saling menombak dengan lembing tumpul dari punggung kuda ketika sedang berlari kencang.
Selain setia menggelar atraksi pasola, Sumba sejak lama selalu rutin melaksanakan pacuan kuda. Jenis olahraga yang menguji kecepatan kuda serta ketangkasan joki biasanya menyedot perhatian luas masyarakat sekitarnya karena disertai taruhan bernilai hingga jutaan rupiah.
Sesuai jumlah kabupatennya, Sumba kini memiliki empat arena pacuan kuda, masing-masing di Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Pacuan tingkat Pulau Sumba biasanya tiga kali dalam setahun, antara Juni dan Oktober. Pelaksanaannya dilakukan bergilir di setiap kabupaten dengan hadiah merangsang.
Khusus di Sumba Barat, Bupati Jubilate Pandango, Juli lalu, malah mencanangkan pacuan kuda secara berjenjang. Kuda-kuda yang diikutsertakan dalam pacuan tingkat kabupaten adalah kelompok kuda unggulan tingkat kecamatan. Dengan demikian, kesempatan menggelar pacuan di setiap kecamatan amat terbuka.
Bupati Pandango bahkan mewajibkan segenap pemimpin satuan kerja pemerintah daerah memiliki kuda pacu. Bagi dia, dorongan dimaksud adalah bagian dari upaya merangsang masyarakat agar lebih giat beternak kuda, terutama jenis turunan kuda pacu.
Tetap mahal
Konon, kebijakan Pandango juga didukung tiga rekan bupati lainnya di Sumba. Alasan mereka, kuda tidak terpisahkan dari kehidupan orang Sumba, sekaligus merupakan penopang ekonomi keluarga. Dampaknya, beternak kuda menjadi peluang usaha menjanjikan, terutama kuda pacu yang harganya langsung melonjak tajam.
Simak, misalnya, pengakuan peternak Umbu Maramba Meha (54) di Kabaru, Kecamatan Rindi, sekitar 92 kilometer dari Waingapu, kota Kabupaten Sumba Timur, awal Desember lalu. Katanya, di daerahnya kini kuda pacu yang tidak bisa lagi ikut berlomba pun tetap mahal harganya.
”Saya dua tahun lalu membeli seekor kuda pacu yang telah apkir, seharga Rp 40 juta. Kebanyakan orang mungkin aneh dengan harga semahal itu. Bagi kami di Sumba, bekas kuda pacu itu tetap memberikan keuntungan menjanjikan,” tutur Umbu Meha yang juga berstatus sebagai Raja Rindi.
Ternyata, bekas kuda pacu apkiran itu selanjutnya dipelihara sebagai pejantan.
Kuda turunannya dipastikan selalu berharga mahal. Bayangkan saja, anakannya yang baru sekitar dua bulan sudah dihargai paling murah Rp 10 juta per ekor!
Oleh pemiliknya, sang pejantan yang selalu dikandangkan atau ditambatkan di bawah pohon di sekitar rumah diatur melayani 10 (kuda) betina. Umbu Meha dan lingkungan keluarganya tahu persis kapan kuda betinanya mulai birahi. ”Saat itu langsung didekatkan dengan pejantannya. Sistemnya kawin kandang agar benih turunannya tidak jatuh ke kuda lain,” tuturnya.
Umbu mengisahkan, dari perkawinan bekas kuda pacu apkiran tersebut dengan 10 betinanya, sejauh ini telah dihasilkan 14 anakan, termasuk satu di antaranya telah laku seharga Rp 15 juta ketika usianya sekitar dua bulan. Jika semuanya terjual, paling sedikit bernilai total Rp 140 juta. Itu berarti, Umbu Meha yang dengan modal awal hanya Rp 40 juta (harga pembelian pejantan apkiran) berhasil meraup keuntungan kotor Rp 100 juta, hanya dalam jangka waktu dua tahun!
Atas kesaksiannya itu, Umbu Meha mendesak pemerintah setempat agar mengganti kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat berupa paket sapi bergulir dengan pengadaan kuda berorientasi pacuan. Pemerintah setempat cukup menyediakan satu atau dua pejantan turunan kuda pacu per desa. Pejantan itu selanjutnya dikawinkan dengan sejumlah betina milik warga setempat. Dengan demikian, dalam waktu relatif singkat, para peternak telah memiliki anakan kuda berharga mahal karena dipastikan turunan kuda pacu.
Kompas/Hariadi Saptono
Anak-anak di Desa Karuni, Kecamatan Laura. Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Jumat (9/12/2011), mengembalakan kudannya di perbukitan di padang sabana di kawasan tersebut.
”Menurut hitungan saya, di Sumba dewasa ini, menernakkan 10 kuda jauh lebih menguntungkan daripada memelihara 100 sapi,” tuturnya seraya menggambarkan di Sumba, sapi baru dihargai sekitar Rp 5 juta setelah berusia 4-5 tahun. Sebaliknya, seekor anakan turunan kuda pacu yang berusia sama sudah berharga Rp 40 juta-Rp 50 juta, bahkan bisa di atas Rp 100 juta jika menjadi juara pacuan kuda. ”Yang terpenting dari beternak kuda pacuan adalah kejujuran untuk mengatakan turunan sebenarnya. Sekali berbohong, untuk selamanya tidak akan dipercaya oleh masyarakat luas,” tambahnya.
Umbu Meha kini juga menjadi pengawas usaha peternakan kuda milik pengusaha asal Waingapu. Kesepakatannya dari setiap 10 anakan, pemiliknya berhak mendapatkan 7 ekor, 3 lainnya masing-masing 2 untuk peternak yang mengurusnya dan 1 bagi Umbu Meha.
Umbu Meha suatu saat pernah disindir sebagai raja yang berhamba pada pengusaha China di Waingapu. Sindiran itu langsung dari Bupati Sumba Timur Lukas Kaborang (kini mantan). dan di depan forum rapat kerja tiga kecamatan pula!
Umbu Meha mengakui, sindiran itu awalnya terasa sebagai pelecehan menyakitkan. Namun, ia berhasil mengubahnya sebagai cambuk agar segera bangkit.
Dia beranggapan tidak cukup hanya menyandang status raja tanpa dukungan ekonomi memadai. Kritik itu dia abaikan, dan kini berkat usahanya itu ia memiliki sedikitnya 80 kuda.
Selain itu, para peternaknya, juga dari lingkungan keluarganya dan berjumlah 8 orang, berhasil membangun rumah sendiri hingga membeli traktor tangan untuk mengolah lahan kebun masing-masing.
Sumber : Kompas.com